Apa menu makan siang Anda hari ini? Kalau Anda makan ikan dan nasi, ada kemungkinan ikan yang jadi menu Anda berasal dari desa Roban, sebuah desa kecil di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. Desa nelayan dengan jumlah penduduk 1.100 jiwa sejak dua tahun ini harus melewati sebuah perubahan yang sangat luar biasa, perubahan yang akhirnya juga berdampak dalam kehidupan seorang Ibu rumah tangga.
Ibu Tia (Sutiamah) adalah Ibu dari empat orang anak. Sejak dua tahun lalu ada yang berubah dalam kesehariannya, selain mengurus keluarga, membantu suami mencari nafkah dengan membuat ikan asin dan menjadi ketua Putri Bahari (kelompok istri nelayan) – Selama dua tahun ini kesibukan Ibu Tia bertambah untuk mengunjungi berbagai tempat seperti kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Kantor Menteri SDM, Kantor Menteri Perekonomian dan Gedung Wakil Rakyat.
Bersama dengan rakyat Batang lain, Ibu Tia memperjuangkan haknya atas masa depan anak-anak serta keluarganya. Seperti para ibu lainnya, harapan Ibu Tia adalah melihat si kecil Tiara yang saat ini berusia 5 tahun memiliki kesempatan tumbuh dengan sehat di lingkungan yang bersih dan bebas Merkuri serta polutan berbahaya lainnya. Saat ini, masa depan yang diharapkan Ibu Tia tengah terancam, raksasa-raksasa besar industri dan birokrasi adalah tantangan yang dihadapi Ibu Tia dan ribuan masyarakat Batang lainnya.
Sejak dua tahun lalu ketika rencana pembangunan PLTU Batang didengar warga, kekhawatiran mulai membayangi mereka. PLTU ini akan dibangun di atas lahan seluas 700 hektar dan melahap lahan pertanian produktif , sawah dan perkebunan rakyat seluas 124,5 hektar. Serta bukan rahasia lagi bahwa dampak dari PLTU akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan warga. Batu bara adalah bahan bakar fosil terkotor dan menurut perhitungan Greenpeace, PLTU Batang akan melepaskan emisi karbon 10,8 juta ton CO2 pertahun atau sama dengan pelepasan emisi negara Myanmar di tahun 2009. Belum lagi polutan-polutan beracun seperti NOx, Sox, PM 2,5 dan Merkuri. Pertanyaannya, siapa yang tidak akan khawatir ketika harus menghadapi masa depan seperti ini?
Maka tak mungkin jika Ibu Tia hanya duduk diam sambil bergerak bersama waktu menuju hari-hari di mana ia harus menyaksikan anak-anaknya tumbuh di tengah udara beracun dan lingkungan yang rusak. Maka dia pun terpaksa turut mendatangi tempat-tempat dan para wakil rakyat yang tak pernah terpikir akan ditemuinya dan memastikan suaranya didengar. “Kami tidak ingin melawan pemerintah, yang kami perjuangkan adalah keadilan.” katanya.
Perjuangan damai yang masih terus dijalaninya bersama rakyat Batang membuatnya sadar akan pentingnya kebersamaan. Dukungan yang didapat dari banyak organisasi dan masyarakat adalah bahan bakar yang membuatnya bergerak lagi ketika rasa putus asa menghadang. Ibu Tia berani berharap dapat memeluk kemenangan pada akhirnya, dan memberikan masa depan bersih bagi keluarganya. Mari kita jadikan harapan ini harapan rakyat Batang dan harapan kita bersama hingga akhirnya kemenangan mereka nantinya menjadi kemenangan kita bersama.
Mari mulai dengan membagikan kisah perjuangan mereka, bagikan (like dan share) kisah mereka di Facebook kami (Greenpeace Indonesia) – gunakan hashtag #NoPLTUBatang di Twitter, silahkan tuturkan kembali kisah Ibu Tia di blog Anda atau bagikan Press Release Greenpeace.
Pastikan Ibu Tia dan ribuan rakyat Batang tidak berjuang sendirian.
Kiranya keadilan bukan hanya sebuah harapan, seperti yang ditulis oleh Ibu Tia dan masyarakat Batang dalam sebuah puisi berjudul: ‘Setetes Harapan’.
Semoga.
Setetes Harapan
Derap kaki melangkah
Menuju angan kemana arah
Semangat pantang menyerah
Keadilan hanyalah sebuah harapan
Hukum hanyalah sebuah slogan
Dan undang-undang hanyalah sebuah pajangan
Yang melarat terjerat yang kaya tak terkena
Yang beruang pasti menang
Kekuatan adalah inspirasi dari sebuah ambisi
Kejayaan tak mengenal hati nurani
Rakyat jadi korban konspirasi
Ya Allah, Tuhan pencipta alam semesta
Bukakanlah mata hati para penguasa
Untuk tidak melakukan kezaliman pada rakyat jelata
Amin…