| MERDEKA.COM. Komite Etik Komisi Pemberantasan    Korupsi (KPK) sudah menetapkan sekretaris Ketua KPK Abraham Samad, Wiwin    Suwandi, sebagai pelaku pembocor Surat Perintah Penyidikan atas tersangka Anas    Urbaningrum. Tetapi, mereka tidak bisa menjatuhkan sanksi buat Wiwin,    lantaran dia bukan pimpinan. Hanya Dewan Pertimbangan Pegawai yang berhak    memberikan sanksi kepada Wiwin. Kemungkinan besar, kariernya di KPK tamat    akibat perbuatannya itu.
 Dalam wawncara dengan    Aryo Putranto Saptohutomo dan Putri Artika Resyakasih dari merdeka.com    beberapa waktu lalu, Wiwin mengakui dia yang berinisiatif menyebarluaskan    sprindik Anas itu kepada wartawan. Bahkan, dia mengatakan Abraham Samad tidak    mengetahui hal itu. Dia pun membantah ketika disebutkan penyebaran sprindik    itu atas perintah Abraham.
 
 Hal itu sekaligus meruntuhkan opini yang menuding Abraham Samad sebagai    pelaku utama pembocor sprindik Anas selama ini. Tetapi, benarkah di balik    pengusutan pembocor sprindik dan pembentukan Komite Etik ada agenda buat    menjatuhkan Abraham Samad dari posisinya sebagai Ketua KPK? Lalu mengapa KPK    ngotot membentuk Komite Etik? Padahal Wiwin sudah mengaku sejak awal dia    adalah si pembocor itu. Berikut petikan wawancara khusus dengan Wiwin    Suwandi.
 
 Jadi bagaimana    urutan peristiwa sampai sprindik AU bisa bocor?
 
 Sejak awal saya mengakui yang membocorkan sprindik. Jadi begini, awalnya    sudah ada gelar perkara kecil soal kasus gratifikasi proyek Hambalang, yang    dihadiri oleh satuan tugas kasus gratifikasi hambalang dan direktur penindakan.    Dari situ mereka sepakat menaikkan status kasus ini ke penyidikan.
 
 Nah, tetapi tentu publik nantinya akan bertanya-tanya. Kok kasusnya    Hambalang, tapi cuma kena soal gratifikasi. Ternyata itu strategi penyidik.    Para penyidik pun mengakui tidak ada tekanan dalam mengusut kasus Hambalang.    Penyidik pun mengakui mereka sudah terlambat, karena untuk kasus Hambalang    ditargetkan selesai pada November tahun lalu. Tetapi mungkin karena alasan    alat bukti atau tanda tangan, akhirnya penyidikan tertunda empat bulan.
 
 Usai ekspose kecil itu, di antara lima pimpinan, ada satu yang belum sepakat    soal penaikan penyidikan gratifikasi Hambalang, yaitu Pak Busyro (Muqoddas).    Dia minta ada satu kali gelar perkara lagi. Yang lain sudah sepakat. Lalu    turunlah draf sprindik itu. Begitu sampai ke tangan Pak Abraham melalui saya,    dia langsung tanda tangan. Karena saat itu Busyro sedang berada di Medan,    sementara Bambang Widjojanto sedang berada di luar negeri. Apalagi pekan    depannya Pak Abraham ke Selandia Baru.
 
 Saya berpikir agar jangan sampai gara-gara Pak Ketua belum tanda tangan    semuanya jadi terhambat. Karena sudah biasa di KPK tanda tangan pimpinan lain    dalam sprindik bisa menyusul.
 
 Usai diparaf, malam itu satu rangkap salinannya saya berikan ke Pak Abraham.    Dia kan mesti punya arsip, buat jaga-jaga kalau ditanya wartawan. Setelah    itu, saya scan lagi draf sprindik itu dan saya cetak kembali. Salinan yang    kedua itu yang saya berikan kepada dua wartawan keesokan harinya. Tetapi    malam itu, saya juga menginformasikan soal sprindik ke Irman Putrasidin dan    Alvon Kurnia Palma.
 
 Namun malam itu, sudah ada kabar AU jadi tersangka. Tapi bukan dari saya.    Ternyata penyidik pun juga mengabarkan kepada orang lain. Saat saya berikan    salinan sprindik kepada dua wartawan itu alasannya sederhana saja. Agar kasus    ini segera terungkap, lalu segera diadakan jumpa pers, soal tanda tangan    pimpinan lain kan bisa menyusul.
 
 Saya berpikirnya begini. Mungkin karena saya orang kampung yang tidak paham    birokrasi, saya berikan sprindik itu atas inisiatif saya. Mereka tidak    memanggil saya. Mereka cuma bertanya karena mendengar kabar AU sudah menjadi    tersangka. Malam itu saya ketemu mereka di Gedung Setiabudi buat memberikan    sprindik. Saya cuma pesan tolong segera dimuat biar publik tahu. Karena saya    yakin pekan depannya akan ada jumpa pers soal perkara itu.
 
 Ternyata, takdir berbalik. Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak. Sejak    kasus sprindik ini bocor, muncul skenario buat menjustifikasi Abraham Samad    sebagai pelaku. Kemudian dari situ dibentuklah Komite Etik.
 
 Padahal, Komite Etik dibentuk atas dasar Berita Acara Pemeriksaan dilakukan    oleh Pengawas Internal. Di depan PI, saya sudah bersumpah atas nama Allah    S.W.T., kalau saya membocorkan sprindik itu tidak atas perintah siapapun,    termasuk Abraham Samad.
 
 Jadi Anda mengaku    tidak pernah disuruh siapapun menyebarkan sprindik?
 
 Tidak. Saya berani bersumpah dengan Alquran. Waktu itu saya tantang Komite    Etik dan Dewan Pertimbangan Pegawai buat bersumpah di atas Alquran, dan di    hadapan Abraham Samad, memang benar saya membocorkan sprindik itu tidak atas    perintah siapapun.
 
 Lalu timbul pertanyaan, kenapa Komite Etik dibentuk, padahal sejak awal saya    sudah mengaku sebagai pembocor sprindik. Padahal sprindik itu kan bukan    rahasia negara. Kira-kira apa tujuan mereka.
 
 Apakah ingin    mengkudeta?
 
 Saya tidak mau berburuk sangka terhadap orang lain, tapi kemungkinan itu ada.    Kita berpikir logis di sini. Lalu saya menganggap ada agenda buat    mendiskreditkan Abraham Samad. Abdullah Hehamahua atau Bambang Widjojanto    misalnya. Jika Bambang peduli dengan temannya yang menjadi ketua, dia bisa    panggil saya di tahap awal. Ketika dia menerima BAP itu, dia bisa memanggil    saya.
 
 Kalau dia bijaksana, dia kan bisa menegur saya, karena perbuatan saya    memiliki risiko luar biasa. Dan bisa menjatuhkan Abraham Samad. Tetapi dia    tidak melakukan itu. Dia terlalu percaya ini adalah kesalahan Abraham Samad.    Di situ kesalahan fatal dan blunder besar mereka.
 |